Quote by Imam Muhammad Al-Baqir

Knowledge and science is the fruit of paradise; in times of threat it is one's ally, in exile it keeps one company, and in solitude it is one's intimate friend and companion - Quotes By Imam Muhammad Al-Baqir Ibn Ali Zainal Abidin Ibn Al-Hussein Ibn Ali Ibn Abi Talib

11/11/2012

Kejujuran Imam Abu Hanifah dalam berniaga


( KEJUJURAN IMAM HANAFI )



Selepas solat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka kedainya, di pusat kota kufah. Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual. Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka. Supaya kalau ada yang akan membeli, ia dapat memperlihatkannya.

Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke kedainya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.

“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,”tawar Imam Hanafi tersenyum ramah.

Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di bahagian kiri.

“Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya.

“Berapa harganya?”tanyanya sambil memandang pakaian itu. Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.”Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu.

“Sayang sekali.”perempuan itu tampak kecewa.

“Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?”

“Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.”

“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,”katanya.

“Tidak apa-apa, terima kasih,”sahut Imam Hanafi tetap tersenyum dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya.

Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak. Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali. Imam Hanafi lalu menghampirinya.

“Silakan, baju itu kainnya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.”

“Memang, saya pun sangat menyukainya. ” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. “Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,”katanya lagi.

Imam Hanafi merasa hiba. Ibu begitu menyukai baju ini, saya akan menghadiahkannya untuk ibu,”kata Imam Hanafi.

“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?”

“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.”Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut.

“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi anda.” Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih.

Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar. Selain berdagang, ia mempunyai majlis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan kedainya pada seorang sahabatnya yang juga seorang pedagang.

Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu.

“Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separuh harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk. Imam Hanafi pun berangkat ke majlis pengajian.

Sesudah hari gelap ia baru kembali ke kedainya.

“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi kedaimu. Oh, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,”kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya.

“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit kecacatan?” tanya Hanafi.

“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.”sahabatnya sangat menyesal.

Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian wangnya.

“Ya Allah! Aku sudah menzaliminya, “ucap Imam Hanafi.

Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui. Imam Hanafi amat sedih.

Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan wang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya.

“Ku niatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian cacat itu,”ucap Imam Hanafi. Ia merasa tidak berhak terhadap wang hasil penjualan pakaian itu.

Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi kedainya pada orang lain.

Keesokan harinya Imam Hanafi menerima kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah wang sebanyak 10,000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya boleh berguru pada Imam Hanafi di majlis pengajiannya. Imam Hanafi menyimpan wang sebanyak itu disudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan wang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin.

Seorang tetangganya merasa pelik melihat hadiah wang itu masih tidak digunakan lagi.

“Kenapa Anda tidak membelanjakan  atau menyedekahkannya? ” tanyanya.

“Tidak, Aku khuwatir wang itu adalah wang haram,” kata Imam Hanafi.

Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. wang itu pun tetap tersimpan disudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah wang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.

No comments:

Post a Comment