( KEJUJURAN IMAM HANAFI )
Selepas solat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka kedainya,
di pusat kota kufah. Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan
dijual. Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan
meletakkannya di tempat yang terbuka. Supaya kalau ada yang akan membeli, ia
dapat memperlihatkannya.
Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke kedainya
untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.
“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang
disukai,”tawar Imam Hanafi tersenyum ramah.
Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di bahagian
kiri.
“Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu.
Imam Hanafi segera mengambilkannya.
“Berapa harganya?”tanyanya sambil memandang pakaian itu.
Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.”Imam
Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu.
“Sayang sekali.”perempuan itu tampak kecewa.
“Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?”
“Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun
demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya
menjualnya separuh harga saja.”
“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,”katanya.
“Tidak apa-apa, terima kasih,”sahut Imam Hanafi tetap
tersenyum dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak
pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang
dagangannya.
Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi
memperhatikan sebuah baju di rak. Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu
diletakkan kembali. Imam Hanafi lalu menghampirinya.
“Silakan, baju itu kainnya halus sekali. Harganya pun tak
begitu mahal.”
“Memang, saya pun sangat menyukainya. ” Orang itu meletakkan
baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. “Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya
ini orang miskin,”katanya lagi.
Imam Hanafi merasa hiba. Ibu begitu menyukai baju ini, saya
akan menghadiahkannya untuk ibu,”kata Imam Hanafi.
“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?”
“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang
lebih.”Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang
tersebut.
“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah
memberkahi anda.” Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih.
Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar.
Selain berdagang, ia mempunyai majlis pengajian yang selalu ramai dipenuhi
orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan kedainya pada seorang
sahabatnya yang juga seorang pedagang.
Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar
mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu.
“Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di
bagian lengannya. Berikan separuh harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya
mengangguk. Imam Hanafi pun berangkat ke majlis pengajian.
Sesudah hari gelap ia baru kembali ke kedainya.
“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi kedaimu. Oh,
iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,”kata sahabatnya menunjuk tempat
pakaian yang ada cacatnya.
“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit
kecacatan?” tanya Hanafi.
“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah
dibelinya dengan harga penuh.”sahabatnya sangat menyesal.
Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu.
Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian wangnya.
“Ya Allah! Aku sudah menzaliminya, “ucap Imam Hanafi.
Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu
kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui. Imam Hanafi amat sedih.
Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin
duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan wang penjualan
pakaian yang sedikit cacat itu semuanya.
“Ku niatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang
membeli pakaian cacat itu,”ucap Imam Hanafi. Ia merasa tidak berhak terhadap
wang hasil penjualan pakaian itu.
Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi kedainya
pada orang lain.
Keesokan harinya Imam Hanafi menerima kedatangan utusan
seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah wang sebanyak 10,000
dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya boleh
berguru pada Imam Hanafi di majlis pengajiannya. Imam Hanafi menyimpan wang
sebanyak itu disudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan wang itu untuk
keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin.
Seorang tetangganya merasa pelik melihat hadiah wang itu
masih tidak digunakan lagi.
“Kenapa Anda tidak membelanjakan atau menyedekahkannya? ” tanyanya.
“Tidak, Aku khuwatir wang itu adalah wang haram,” kata Imam
Hanafi.
Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat
begitu. wang itu pun tetap tersimpan disudut rumahnya. Setelah beliau wafat,
hadiah wang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.
No comments:
Post a Comment